Dampak Negatif TikTok: Sebuah Pengalaman Nyata dan Refleksi dari Tes IQ

Daftar Isi
Dampak Negatif TikTok: Sebuah Pengalaman Nyata dan Refleksi dari Tes IQ

Beberapa waktu lalu, saya dapet kesempatan buat lihat hasil tes IQ orang-orang di sekitar saya. Yang bikin saya kaget adalah banyak dari mereka yang masuk kategori Low Average bahkan sampai Borderline. Salah satu kesamaan dari mereka? Yup, pengguna berat TikTok. Nggak cuma sehari dua hari, tapi udah kayak napas hidup—bangun tidur buka TikTok, sebelum tidur TikTok dulu, bahkan sering ketiduran sambil nonton.

Sebagai blogger pemula yang suka nulis hal-hal jujur dan apa adanya 😁, saya jadi tertarik buat ngobrolin soal ini. Bukan buat nge-judge siapa-siapa, tapi lebih ke berbagi pandangan dan pengalaman yang mungkin bisa jadi bahan refleksi, terutama buat kita yang hidup di era serba cepat dan serba viral kayak sekarang.

Tes IQ dan Fakta Mengejutkan

Tes IQ ini dilakukan gratis oleh sekolah kami lewat kerja sama dengan biro psikologi Insan Q. Hasilnya, banyak teman saya yang dapet skor di bawah 90. Dan anehnya, mereka semua punya kebiasaan yang sama: candu TikTok.

Kalau kamu penasaran soal klasifikasi IQ, ini dia rangkumannya menurut skala Stanford Binet:

  • 90–109: Rata-rata
  • 80–89: Low Average
  • 70–79: Borderline
  • Di bawah 70: Kategori retardasi mental ringan

Salah satu teman saya yang dapat skor 81, misalnya, bisa dibilang masuk kategori Low Average. Dia termasuk yang nggak bisa lepas dari TikTok, dan dampaknya terasa banget dalam kehidupan sehari-hari.

1. Susah Jawab Pertanyaan Pendapat Pribadi

Pertanyaan kayak “Menurut pendapatmu?” atau “Coba tuliskan pendapat pribadi!” ternyata cukup bikin mereka kelabakan. Padahal ini seharusnya jadi kesempatan buat mengungkapkan apa yang mereka pikirkan. Tapi yang terjadi? Mereka malah lari ke ChatGPT, nanya “apa pendapat kamu tentang ini?” dan langsung copas. Bukan karena malas mikir, tapi emang kayaknya udah terlalu terbiasa dikasih jawaban instan.

2. Nggak Betah Nonton Video Panjang

Nonton video 5 menit aja udah di-skip, apalagi dokumenter 40 menit? No way. Fokus mereka hanya bisa bertahan beberapa detik sebelum otak minta distraksi lain. Dan ini bukan cuma sekali dua kali terjadi, tapi udah jadi kebiasaan yang mengganggu kemampuan belajar secara menyeluruh.

3. Bahasa Kasar dan Konten Dewasa Jadi Hal Biasa

Salah satu keponakan saya yang masih 8 tahun udah bisa bilang kata-kata mesum dari TikTok—dan bangga. Katanya, “Kan lucu, di TikTok banyak yang ngomong gitu.” Sedih sih, karena ini menunjukkan betapa mudahnya anak-anak terpapar konten dewasa tanpa filter.

4. Gampang Menghakimi Orang Lain

Salah satu cerita yang cukup nyesek datang dari ibu temanku sendiri. Anaknya pernah bilang, “Bunda nggak boleh marah-marah. Di TikTok parenting nggak boleh gitu.” Padahal, sang ibu ini bukan tipe yang galak, justru anaknya yang sering kasar secara fisik. Tapi karena terlalu sering lihat parenting ala TikTok, anak ini merasa bisa menghakimi tanpa paham konteks.

5. Lemah dalam Membaca dan Presentasi

Beberapa teman saya kesulitan membaca teks panjang. Katanya, "Puyeng." Pas presentasi? Padahal udah tinggal baca dari teks, tapi tetep aja terbata-bata, banyak “emmm…”, “eeee…” dan pengulangan kata nggak jelas. Mereka terbiasa dengan informasi cepat dan pendek, jadi susah adaptasi dengan format formal dan mendalam.

6. Nggak Terima Dikritik

Ada satu guru ekonomi yang sering kasih kritik membangun setelah presentasi. Tapi komentar dari para siswa setelah guru itu pergi bikin saya geleng-geleng kepala:

“Anj**g tuh guru nyusahin aja.”
“Iya, emang b*bi tuh guru.”
“Semoga mati aja.”

Padahal kritiknya logis dan niatnya baik. Tapi ya itu tadi, mental mereka udah terlatih buat menolak kritik—karena hidup di dunia maya yang selalu bilang “kamu istimewa, jangan dengarkan haters.”

7. Mental Instan dan Ketergantungan Teknologi

Disuruh nonton video materi 10 menit? Langsung copas ke ChatGPT dan minta rangkuman. Bikin presentasi? Copas dari ChatGPT juga. Bahkan waktu diminta nulis saran dan kritik pribadi untuk guru, mereka bingung... dan copas dari AI lagi. Bayangin, nulis isi hati aja udah males mikir.

8. Terobsesi Tren, Lupa Kewajiban

Apa yang viral di TikTok—itu yang mereka ikuti. Dance, sound, parodi, cosplay, semuanya dikejar. Sampai tugas-tugas sekolah numpuk karena “lagi pengen bikin video Jeje nih.” Kreatif? Mungkin. Tapi kalau sampai kewajiban ditinggalkan, itu udah masuk zona bahaya.

9. Budaya “Keracunan” Belanja Online

“Eh beli ini yuk, lucu banget.”
“Keracunan TikTok Shop nih.”
Mereka rela habiskan uang jajan bulanan buat barang-barang viral yang fungsinya nggak seberapa. Akhir bulan? Stres sendiri, ngomel-ngomel karena kehabisan uang. Lagi-lagi, semua ini muncul dari tren yang didorong platform satu itu.

Kesimpulan: Waktunya Bijak Memilih Konten

Saya nggak bilang TikTok itu sepenuhnya buruk. Di sana juga banyak konten edukatif dan inspiratif, tapi jujur aja, algoritma TikTok cenderung mendorong konten viral yang dangkal. Kalau kita nggak bisa kontrol diri, maka kita yang akan dikontrol.

Penting banget buat kita mulai sadar soal ini. Edukasi digital harus jadi prioritas. Orang tua, guru, dan bahkan kita sendiri harus belajar membatasi, menyaring, dan memfilter apa yang kita konsumsi tiap hari.

Kalau kamu mau tahu lebih lanjut tentang dampak media sosial pada remaja, coba cek artikel dari Kominfo ini. Isinya cukup menampar, tapi berguna buat jadi bahan introspeksi.

Posting Komentar