Kenapa Netizen Seringkali Lebih Cepat Menghakimi daripada Mengerti?
Pernah gak sih Sob, kamu baca komentar di media sosial yang isinya langsung nyerang seseorang tanpa ampun? Bahkan sebelum tahu duduk perkaranya, udah muncul ribuan komentar yang penuh amarah. Seolah-olah semua orang berlomba jadi hakim tercepat sedunia. Pertanyaannya: kenapa sih, netizen lebih cepat menghakimi daripada berusaha mengerti?
Fenomena ini bukan hal baru. Tapi makin hari, makin terasa intens. Satu potongan video 10 detik bisa memicu gelombang kebencian massal. Tanpa konteks, tanpa riset, tanpa jeda untuk berpikir: orang langsung ambil kesimpulan.
Budaya Instan Bikin Otak Juga Pengen Cepat
Kita hidup di era serba instan. Makanan cepat saji, belanja tinggal klik, bahkan informasi pun muncul dalam bentuk ringkasan. Akibatnya, cara berpikir kita pun jadi terbentuk: maunya serba cepat.
Scroll-scroll, lihat headline, langsung simpulkan. Gak ada waktu buat baca lengkap, apalagi buat mikir dalam.
Manusia Punya Naluri untuk Merasa Benar dan Berpihak
Secara psikologis, manusia punya kecenderungan untuk cepat menyimpulkan agar merasa aman. Kita suka "membelah dunia" jadi hitam-putih: siapa yang salah, siapa yang benar.
Ini bukan karena jahat, tapi karena otak suka yang sederhana. Kompleksitas bikin lelah. Jadi ketika ada informasi yang sedikit ambigu, otak langsung cari jalan pintas: menyalahkan.
Apalagi kalau narasinya cocok sama keyakinan kita, makin gampang deh ngegas.
Media Sosial = Ruang Emosi, Bukan Diskusi
Meski sering dibilang sebagai "platform komunikasi", faktanya medsos itu lebih jadi arena curhat dan luapan emosi ketimbang tempat berdiskusi sehat.
Komentar yang bernada marah, lucu, atau ekstrem lebih gampang viral daripada komentar bijak dan netral.
Jadi ya, algoritma juga turut andil. Platform sosial media lebih senang ngasih exposure ke komentar yang panas karena dianggap "engagement tinggi".
Kurangnya Empati Digital
Di dunia nyata, kita bisa lihat ekspresi wajah, mendengar intonasi, dan merasakan suasana. Tapi di dunia digital? Semua itu hilang.
Tanpa tatap muka, empati pun berkurang. Kita lebih gampang menyakiti karena merasa aman di balik layar.
Dan ini makin diperparah dengan ilusi bahwa "komentar kita gak akan terlalu berdampak". Padahal, komentar satu orang bisa jadi pemantik efek domino.
FOMO dan Tekanan Sosial
Ada juga tekanan tak terlihat: Fear of Missing Out (FOMO). Ketika semua orang ikut menghakimi, kita merasa harus ikut juga. Takut dibilang gak peka, atau malah dianggap membela yang salah.
Akhirnya? Orang lebih pilih ikut arus ketimbang mikir sendiri.
Kenapa Mengerti Itu Butuh Usaha (dan Gak Semua Mau Capek)
Mengerti seseorang itu butuh waktu. Harus baca dulu, riset, memahami latar belakang, melihat dari banyak sudut. Itu semua butuh energi.
Sedangkan menghakimi? Tinggal ketik: "Parah banget sih lo!"
Maka gak heran kalau banyak yang memilih jalur cepat. Bukan karena jahat, tapi karena... ya capek aja mikir panjang.
Apa Solusinya? Haruskah Kita Diam Saja?
Tentu nggak. Bukan berarti kita gak boleh marah atau bereaksi. Tapi penting buat bedain: apakah reaksi kita berasal dari pemahaman, atau cuma ikut-ikutan?
Berikut beberapa hal yang bisa jadi pengingat sebelum komentar:
- Tanya dulu, bukan tuduh dulu.
- Cek konteks sebelum bereaksi.
- Kalau belum jelas, lebih baik diam dulu.
- Ingat bahwa di balik layar, ada manusia nyata.
- Komentar bijak mungkin gak viral, tapi bisa berdampak positif.
Akhir Kata: Dunia Gak Butuh Lebih Banyak Hakim, Tapi Lebih Banyak Pendengar
Sob, di era digital ini, opini memang gampang diucapkan. Tapi memahami seseorang, apalagi yang berbeda dari kita, itu jauh lebih mulia.
Sebelum kita ikut tren komentar panas, mungkin ada baiknya kita tanya diri sendiri: "Apa yang sebenarnya aku tahu?" dan "Kalau aku ada di posisi dia, gimana rasanya?"
Karena di balik setiap postingan viral, selalu ada cerita yang lebih panjang dari apa yang kelihatan.
Dan kadang, yang paling dibutuhkan bukan vonis, tapi pelukan—atau setidaknya, pengertian.
Posting Komentar